Opini, Matasulsel – Bukanlah dongeng jika bangsa (Indonesia) pernah terjajah dan kemudian berhasil membuat
penjajah harus angkat kaki dari wilayah tanah air Indonesia. Bukan tanpa proses, terjajah dan akhirnya merdeka seluruhnya menguras energi dan kegigihan
dalam menjalaninya.
Bukanlah khayalan ketika bangsa-bangsa yang pernah terjajah telah bulat tekad menjadi satu bangsa yakni Bangsa Indonesia. Hari ini, sejak 17 Agustus 1945 kita hirup udara kemerdekaan, dan alam berbangsa kita di era jelang 2020 teramat dipenuhi dinamika yang beragam. Yang sangat menguras perhatian adalah
udara demokrasi yang menusuk dari pemilihan level atas Pilpres hingga pemilihan level grass root Pilkades, kemudian dilengkapi dengan pemilihan Anggota Legislatif dan Anggota DPD.
Belum lagi bangsa ini sementara berjuang ingin sehat dari sakit paru-parunya. Antara lain korupsi, narkoba, illegal loging, illegal fishing, human trafficking, terorisme, percaloan layanan publik, dan sebagainya. Perjuangan bangsa ini hadapi kondisi sakitnya bukan dengan suasana yang biasa-biasa saja, tetapi dengan tantangan fenomena sosial-agama yang sementara merebak yakni persekusi, begal, ragam berita hoax, kekeliruan penggunaan sosmed, eksistensi diri yang berlebihan, benturan issu ulama, bahkan lemahnya mata uang Rupiah menjadi perdebatan rakyat jelata, volume adzan, dan sebagainya.
Dari jenis sakit dan rentetan fenomena sosial di atas telah menjadi perihal yang termanfaatkan secara politis jelang pemilihan presiden, legislatif, dan DPD. Artinya, produk dari pemilihan Presiden, Legislatif, dan DPD sejatinya menjadi tumpuan bangsa ini tidak hanya sekedar menyaksikan person demi person yang hebat berpolitik, tetapi jauh dari itu harapan rakyat adalah Presiden, anggota Legislatif, dan DPD menjadi elementasi hakiki terhadap peradaban bangsa menuju terwujudnya layanan dan pembangunan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat adalah tolak ukur dari kemuliaan, kemakmuran, dan kesejahteraan sebuah bangsa. Yang kita inginkan adalah, produk dari proses Pilpres, Pilcaleg, dan PilDPD sebagai bagian dari ikhtiar kebangsaan kita berjalan proporsional dan tidak menggantungkan pada wilayah praktis.
Tidak hanya sekedar memikirkan personality yang akan dipilih tetapi selalu menjadikan suasana dan kondisi kebangsaan adalah kebutuhan dasar Rakyat Indonesia. Jika diibaratkan tubuh manusia, ketika sakit maka obat yang paling mujarab adalah semangat dan keyakinan untuk sembuh, dan yang paling utama adalah manusia (jikalau muslim) diwajibkan miliki hubungan erat dengan Tuhan dengan cara beribadah yang khusyu’. Jika demikian, Indonesia tidak akan sembuh dari sakitnya ketika pesimisme masih membalut jiwa, optimisme kita lempar jauh dan akhirnya keyakinan merasuki ego kemanusiaan kita alias memvonis diri akan mati tapi takut mati.
Tidak ada komentar